Mungkin anda pernah menjadi korban dari gejala
fenomena sosial ini. ‘Istilah nitip nama’ atau hanya nampang nama menjadi
fenomena sosial yang terjadi pada pelajar sampai mahasiswa. Lantas maksud dari
kata ‘nitip nama’ ini apa maksudnya ? Bagaimana bentuknya ? Saat sekolah atau
kuliah, pernah tidak guru memberikan suatu pekerjaan, di mana tugas di berikan
pada 3 orang lebih. Biasanya mereka menyebut hal ini sebagai tugas kelompok.
Makna dari tugas kelompok ini sebenarnya lebih berat. Misalnya dengan melakukan
laporan penelitian, laporan praktikum, makalah tentang suatu materi, paper, dan
lain sebagainya. Tujuan guru memberikan tugas kelompok adalah agar pekerjaan
menjadi ringan. Sebab beberapa otak di minta memberikan pikirannya untuk
menyelesaikan tugas tersebut. Sehingga tugas akan menjadi ringan. Namun apa
yang terjadi ? Biasanya orang – orang malah menggampangkan hal tersebut. Pekerjaan
ini pun akhirnya hanya di kerjakan oleh satu atau dua orang saja. Tanpa bantuan
anggota yang lain. Entah karena anggota yang lain sedang sibuk mengerjakan
tugas lain, bekerja atau malah tidak peduli sama sekali. Oleh sebab itu
fenomena ini biasanya bagi kalangan yang pernah “melakukan atau menjadi korban”
menyebut kejadian tersebut dengan istilah ‘nitip nama’ alias ‘nampang
nama’. Hanya asal menampang nama, tanpa melakukan tanggung jawabnya.
Asal ‘nitip nama’ dalam tugas
kelompok
Fenomena nitip nama, atau dalam psikologi memiliki
istilah yang cukup keren, ‘bystander effect’. Sebenarnya ini adalah salah satu
fenomena sosial yang kerap terjadi di lingkungan kita. Yang mana dalam suatu
kelompok, hanya ada satu dua orang saja yang berperan dalam menjalankan
tugasnya. Sedangkan yang lainnya hanya menjadi penontom.
Beberapa ahli psikolog mengasosiasikan jenis fenomena
ini sebagai bentuk dari efek penonton. Contoh yang paling jelas memang di
bangku sekolah. Atau contoh lainnya adalah ketika ada seorang yang mengalami
kecelakaan. Lantas orang – orang yang ada sekitr tempat kejadian di sana hanya
menonton saja. Bahkan orang-orang tidak membantu ataupun melakukan apa-apa sama
sekali. Ini juga menjadi salah satu contoh adanya efek penonton dalam
lingkungan sosial.
Tentu saja hal ini sangat tidak baik untuk di lakukan.
Sebab penonton sama sekali tidak memiliki inisiatif untuk ikut membantu orang
yang sedang kesusahan. Jika hal ini di biarkan terus menerus berlarut – larut,
yang terjadi adalah tingkat individualistik semakin yang semakin tinggi.
Semakin tinggi sikap ini muncul, maka perasaan saling memiliki dan toleransi
pun akan semakin berkurang.
Lalu Bagaimanakah Cara menghindari
bystander effect ?
Tentu saja anda atau kita semua tidak menginginkan
dunia ini hanya berisi orang – orang yang tidak peka dengan lingkungan
sekitarnya. Tentu saja anda tidak akan betah apabila kehidupan yang ada ini
tidak memiliki raasa kepedulian satu dengan yang lainnya. Mereka bagai hidup
sendiri – sendiri yang acuh terhadap saudara dan tetangga di sebelahnya. Tidak
ada interaksi dan juga tidak adanya relasi sosial.
Bahkan jika mereka mencipakan suatu interaksi pun
biasanya hal tersebut tidak semua murni atas hati nurani. Kental sekali aroma
mencari keberuntungan keduniawian. Maksudnya, ketika mereka benar – benar
melakukan interaksi tidaklah dilakukan dengan tulus. Jadi berharap mendapatkan
sesuatu yang baik dari efek melakukan interaksinya tersebut. Lantas, bagaimana
cara untuk mengatasi bystander effect atau efek penonton ini ? Mungkinkah hal
ini berpotensi menjadi suatu penyakit yang berbahaya jika di biarkan ? Untuk
mengatasi hal ini mungkin ada beberapa cara misalnya mengajarkan anak sedini
mungkin. Pengajaran tersebut dapat dilakukan dengan mencontohkan hal sederhana
adegan membantu orang lain. Dongengkanlah anak-anak kisah-kisah teladan yang
syarat mengandung makna saling tolong menolong dan peduli terhadap sesama.
Hindarkan anak-anak terlalu sering teracuni oleh
sinetron-sinetronn yang kerap menampilkan adegan pelecehan, kekerasan verbal,
dan acuh tak acuh terhadap sesama. Untuk membudayakan terhadap kalangan
mahasiswa para dosen, bisa di mencoba cara mengantisipasi dengan adanya kerja
kelompok yang beranggotakan tidak terlalu banyak. Maka cukup bentuklah kelompok
– kelompok kecil saja. Hanya berisi dua atau tiga orang saja dalam satu
kelompok. Hal ini akan meminimalisir suatu keadaan bystander. Agar bibit-bibit
menjadi penonton ini sedikit terminimalisir di tengah mahasiswa yang katanya
adalah calon “agen perubahan”.
Tentu saja pekerjaan akan terasa semakin berat bagi
mahasiswanya. Karena hanya di topang dengan 3 otak saja. Namun mereka akan
benar benar fokus pada tugas tersebut. Bahkan jika ada orang yang merasa bahwa
anggotanya hanya nitip nama, ia bisa bertindak tegas. Ia mampu untuk menolak
orang lain melakukan hal ini. Karena ia merasa berat sebelah. Meskipun beberapa
kemungkinan lain juga bisa terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar