Senin, 11 Desember 2017

Kerja Kelompok? Oh maksudnya Tugas kelompok yang dikerjakan sendiri




Mungkin anda pernah menjadi korban dari gejala fenomena sosial ini. ‘Istilah nitip nama’ atau hanya nampang nama menjadi fenomena sosial yang terjadi pada pelajar sampai mahasiswa. Lantas maksud dari kata ‘nitip nama’ ini apa maksudnya ? Bagaimana bentuknya ? Saat sekolah atau kuliah, pernah tidak guru memberikan suatu pekerjaan, di mana tugas di berikan pada 3 orang lebih. Biasanya mereka menyebut hal ini sebagai tugas kelompok. Makna dari tugas kelompok ini sebenarnya lebih berat. Misalnya dengan melakukan laporan penelitian, laporan praktikum, makalah tentang suatu materi, paper, dan lain sebagainya. Tujuan guru memberikan tugas kelompok adalah agar pekerjaan menjadi ringan. Sebab beberapa otak di minta memberikan pikirannya untuk menyelesaikan tugas tersebut. Sehingga tugas akan menjadi ringan. Namun apa yang terjadi ? Biasanya orang – orang malah menggampangkan hal tersebut. Pekerjaan ini pun akhirnya hanya di kerjakan oleh satu atau dua orang saja. Tanpa bantuan anggota yang lain. Entah karena anggota yang lain sedang sibuk mengerjakan tugas lain, bekerja atau malah tidak peduli sama sekali. Oleh sebab itu fenomena ini biasanya bagi kalangan yang pernah “melakukan atau menjadi korban” menyebut kejadian tersebut dengan  istilah ‘nitip nama’ alias ‘nampang nama’. Hanya asal menampang nama, tanpa melakukan tanggung jawabnya.
Asal ‘nitip nama’ dalam tugas kelompok
Fenomena nitip nama, atau dalam psikologi memiliki istilah yang cukup keren, ‘bystander effect’. Sebenarnya ini adalah salah satu fenomena sosial yang kerap terjadi di lingkungan kita. Yang mana dalam suatu kelompok, hanya ada satu dua orang saja yang berperan dalam menjalankan tugasnya. Sedangkan yang lainnya hanya menjadi penontom.
Beberapa ahli psikolog mengasosiasikan jenis fenomena ini sebagai bentuk dari efek penonton. Contoh yang paling jelas memang di bangku sekolah. Atau contoh lainnya adalah ketika ada seorang yang mengalami kecelakaan. Lantas orang – orang yang ada sekitr tempat kejadian di sana hanya menonton saja. Bahkan orang-orang tidak membantu ataupun melakukan apa-apa sama sekali. Ini juga menjadi salah satu contoh adanya efek penonton dalam lingkungan sosial.
Tentu saja hal ini sangat tidak baik untuk di lakukan. Sebab penonton sama sekali tidak memiliki inisiatif untuk ikut membantu orang yang sedang kesusahan. Jika hal ini di biarkan terus menerus berlarut – larut, yang terjadi adalah tingkat individualistik semakin yang semakin tinggi. Semakin tinggi sikap ini muncul, maka perasaan saling memiliki dan toleransi pun akan semakin berkurang.
Lalu Bagaimanakah Cara menghindari bystander effect ?
Tentu saja anda atau kita semua tidak menginginkan dunia ini hanya berisi orang – orang yang tidak peka dengan lingkungan sekitarnya. Tentu saja anda tidak akan betah apabila kehidupan yang ada ini tidak memiliki raasa kepedulian satu dengan yang lainnya. Mereka bagai hidup sendiri – sendiri yang acuh terhadap saudara dan tetangga di sebelahnya. Tidak ada  interaksi dan juga tidak adanya relasi sosial.
Bahkan jika mereka mencipakan suatu interaksi pun biasanya hal tersebut tidak semua murni atas hati nurani. Kental sekali aroma mencari keberuntungan keduniawian. Maksudnya, ketika mereka benar – benar melakukan interaksi tidaklah dilakukan dengan tulus. Jadi berharap mendapatkan sesuatu yang baik dari efek melakukan interaksinya tersebut. Lantas, bagaimana cara untuk mengatasi bystander effect atau efek penonton ini ? Mungkinkah hal ini berpotensi menjadi suatu  penyakit yang berbahaya jika di biarkan ? Untuk mengatasi hal ini mungkin ada beberapa cara misalnya mengajarkan anak sedini mungkin. Pengajaran tersebut dapat dilakukan dengan mencontohkan hal sederhana adegan membantu orang lain. Dongengkanlah anak-anak kisah-kisah teladan yang syarat mengandung makna saling tolong menolong dan peduli terhadap sesama.
Hindarkan anak-anak terlalu sering teracuni oleh sinetron-sinetronn yang kerap menampilkan adegan pelecehan, kekerasan verbal, dan acuh tak acuh terhadap sesama. Untuk membudayakan terhadap kalangan mahasiswa para dosen, bisa di mencoba cara mengantisipasi dengan adanya kerja kelompok yang beranggotakan tidak terlalu banyak. Maka cukup bentuklah kelompok – kelompok kecil saja. Hanya berisi dua atau tiga orang saja dalam satu kelompok. Hal ini akan meminimalisir suatu keadaan bystander. Agar bibit-bibit menjadi penonton ini sedikit terminimalisir di tengah mahasiswa yang katanya adalah calon “agen perubahan”.
Tentu saja pekerjaan akan terasa semakin berat bagi mahasiswanya. Karena hanya di topang dengan 3 otak saja. Namun mereka akan benar benar fokus pada tugas tersebut. Bahkan jika ada orang yang merasa bahwa anggotanya hanya nitip nama, ia bisa bertindak tegas. Ia mampu untuk menolak orang lain melakukan hal ini. Karena ia merasa berat sebelah. Meskipun beberapa kemungkinan lain juga bisa terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RESUME BAB 6

 AKSIOLOGI PAULO FREIRE Pada pembahasan kali ini saya akan meresume buku Struktur Fundamental Pedagogik karya Dr. Dharma Kseuma, M.Pd. ...